Halaman

Minggu, 16 Juni 2013

Maafkan Aku Sara

Sara dan Sari adalah sahabat karib. Keduanya berteman sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Sara berambut sebahu. Warnanya hitam legam selalu diikat. Kulitnya sawo matang dan matanya bulat.
Rambut Sari pendek lurus. Kulitnya putih bersih. Ada tahi lalat di ujung hidungnya yang mancung. Sara hobi membaca sementara Sari gemar memasak. Keduanya sama-sama suka membantu Ibu.
“Hari Minggu besok kita libur. Kamu mau pergi ke mana Ra?” tanya Sari sepulang sekolah. Sara menggeleng, “Gak ke mana-mana Ri. Paling-paling baca buku. Kamu?” Sara balik bertanya.
“Sama Ra. Aku bantu Ibu bikin kue. Kamu kenal Tante Arin kan? Tetangga sebelahku. Tante Arin pesan kue. Banyak lagi…”
“Oooo…” mulut Sara membulat.
“Ya sudah, sampai ketemu ya.” Sari melambaikan tangan.
“Minggu pagi kutunggu kamu ke rumah ya!” teriak Sara.
“Yaaaa….” Sari berlari ke halaman rumahnya tanpa menoleh.
Sara tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Ia melangkah sendirian. Sampai di pertigaan, Sara belok ke kanan dan sampailah ia di kediamannya yang terletak paling ujung.
“Assalamu alaikum?” suara Sara muncul di muka pintu.
“Waalaikum salam… sudah pulang Ra?” sambut Mama di muka pintu.
Sara mencium tangan Mama dan selalu Mama membalas dengan pelukan.
“Iya Ma. Besuk kita di rumah saja kan Ma?” Sara melepas kaos kaki.
“Iya sayang. Kita di rumah, Papa tidak libur.” jawab Mama di ruang makan.
Sementara Sari di rumahnya juga melakukan hal yang sama. Kadang-kadang waktu istirahat dipakai untuk mengerjakan tugas sekolah. Siang itu Sari menghabiskan waktu istirahatnya bersama Bunda. Mereka menyiapkan bahan-bahan kue. Telur ayam, tepung terigu, mentega, gula ditimbang bergantian. Tidak heran jika Sari mulai terampil memasak kue. Bahkan kadang-kadang ia bisa mengolah makanan kecil tanpa bantuan Bunda. Hebat ya…
Bedug Maghrib baru saja berkumandang. Bunda dibantu Sari mengantar kue pesanan Tante Arin. Rumah Tante Arin cukup ramai. Rupanya banyak saudara berkumpul di sana. Setelah menyerahkan kue dan mengobrol sebentar, Bunda dan Sari berpamitan.
Tak jauh dari tempat Sari, Sara tengah berkreasi membuat jepit dari sedotan plastik. Cantik dan imut. Cara membentuk jepit ia dapatkan dari majalah yang baru saja dibelinya. Pasti Sari suka, gumamnya dalam hati.
Minggu pagi langit sangat bersih. Sara telah selesai sarapan dan kini ia sibuk mengemas jepit-jepit imut ke dalam kotak kecil warna merah muda. Ada 9 pasang jepit warna warni. “Yes, selesai!” Sara berkata sendiri di ruang tamu. Dahi Sara mendadak berkerut ketika menatap jarum panjang jam di dinding sudah berada di angka 12. Sara berdiri menghalau resah. Ia pandangi kotak pink di sudut meja kemudian kakinya melangkah ke luar. Belum saja tangan kanannya menyentuh daun pintu, Mama yang baru balik dari warung memanggil.
“Sara, dapat salam dari Sari. Ia baru saja lewat sama temannya.”
“Temannya? Siapa Ma?” Sara berlari ke arah Mama.
“Mama juga belum kenal. Rambutnya panjang dikepang dua.” Mama dan Sara melangkah masuk.
“Pantas saja tidak ke sini. Dia sudah janji pagi ini mau main. Sara sudah buatin jepit cantik. Sari bohong….” Sara berlari ke dalam rumah. Mama mengikuti dari belakang. Langkah Sara terhenti di ruang tamu. Ia sandarkan badan di kursi empuk warna coklat tua. Tangannya meraih bungkusan kecil dan diamat-amati kotak mirip bungkus sabun mandi itu. Lama Sara terdiam.
“Sara, makan dulu yuk…”
“Malas Ma, masih kenyang.” Sara masih menimang-nimang benda di tangannya.
“Kenyang? Baru makan 1 lembar roti tawar, kenyang?” tukas Mama.
“Nanti saja.” jawab Sara singkat.
Mama mendekati Sara lantas mengelus punggung putrinya. Lembut…,lembut sekali.
“Sara, barangkali Sari lupa. Kalau sudah ingat, pasti dia datang ke sini.” hibur Mama.
“Karena ada kawan baru, Sara dilupain. Gitu kan Ma?” rutuk Sara.
“Bukan, percayalah sama Mama. Sari pasti datang. Makan yuk..”
Mama dan Sara sudah berada di ruang makan. Sayur asem, ayam goreng, tempe bacem, sambal terasi. Kerupuk ikan. Hmmm…
“Alhamdulillah, makasih Ma. Enak sekali.” Sara membawa piring kotor ke dapur.
“Alhamdulillah…” Mama tersenyum lega.
Sore menawarkan pemandangan lain. Langit gelap disertai angin. Daun-daun kering berjatuhan. Halaman rumah yang sudah disapu penuh daun dan bunga kamboja berserakan. Langit makin gelap dan hujan mulai merintik. Di dalam kamar Sara mendengarkan musik. Lagu ketiga baru saja berhenti, tiba-tiba pintu diketuk dari luar.
“Sara, ada Sari di ruang tamu.” ujar Mama setelah pintu kamar dibuka.
Sara bermaksud menutup pintu kembali, namun tangan Mama lebih dahulu mencegatnya. “Sara, temui Sari. Gerimis begini, dia tetap datang.”
“Biarin. Mama bilang saja Sara lagi tidur…”
“Eits, tidak boleh begitu. Temui dia…” Mama menarik lengan Sara.
“Gak mau. Suruh dia pulang..” Sara menolak ajakan Mama.
“Sara, aku tidak akan pulang sebelum aku menjelaskan semuanya.” wajah cantik Sari muncul di belakang Mama.
“Maafkan aku, Sara…” tangan kanan Sari meraih pergelangan Sara.
Sara tak menjawab. Kedua bola matanya menatap Sari lekat-lekat.
“Semalam waktu aku mengantar kue ke Tante Arin, aku dikenalin dengan Susi. Susi keponakan Tante Arin. Anaknya cantik tapi maaf, dia sulit mengucapkan sesuatu. Susi sangat pendiam dan susah bergaul.
Tapi kemarin Susi menjadi periang. Aku diminta menemaninya. Besuk aku kenalin ya. Sekali lagi, maafkan aku, Sara..”
Sara masih tak bersuara. Matanya yang bulat nampak berkaca-kaca. Ia pandangi Sari tak berkedip. Sari tersenyum. Mata dan kedua pipi Sari lebih dahulu basah.
“Maafkan Sara juga ya…” Sara memeluk Sari.
“Makasih bungkusan merah jambu itu.” bisik Sari.
Sara melepas badan Sari, “Dari mana kamu tahu?” balas Sara.
“Mama sudah jelaskan semua tadi sebelum Mama ketuk pintu kamar.” timpal Mama yang sedari tadi ikut berdiri.
Sara memandang Mama, kemudian menatap Sari. Tak ada lagi kesal. Tak ada lagi muram. Kembali dua sahabat berpelukan. Meskipun di luar hujan makin deras, hati dua gadis kecil itu tak lagi menyimpan mendung.

0 komentar:

Posting Komentar